Di JAZIRAH ARAB tersebutlah seorang pangeran muda yang bijaksana. Pada suatu hari, karena bosan berada di lingkungan istana, ia menyamar dan berkuda menuju pelosok. Ia menyusuri setiap kota dan desa sehingga tampak olehnya keadaan rakyatnya dari dekat. Dalam hati, ia bersyukur kepada Allah bahwa tak ada satu pun rakyatnya yang hidup serba kekurangan.
Hingga sampailah ia di perkebunan apel yang luas. Di salah satu kebun tadi, tampaklah seorang lelaki yang sedang tertidur di bawah pohon apel. Lelaki itu adalah seorang pekeija pemetik apel. Rupanya karena kelelahan, ia memutuskan beristirahat sejenak dan tertidur.
Pangeran baru saja hendak membangunkan lelaki tadi, ketika dilihatnya seekor ular kobra masuk ke dalam mulut lelaki tadi. Ditunggu lama, ular itu tak juga keluar. Si lelaki pekeija ini juga tak kunjung bangun dari tidurnya.
Khawatir dengan keselamatan lelaki pekerja ini, pangeran kemudian mengambil tindakan. Ia naik ke atas kudanya, mengentakkan cambuknya ke arah lelaki pe¬keija tadi sehingga ia terbangun dari tidurnya. Merasa tidurnya terganggu, lelaki ini balik memarahi pangeran yang tak dikenalinya.
"Apakah Tuan sudah gila? Menyambuk orang yang tak bersalah?"
"Aku adalah Pangeranmu!" kata sang pangeran. "Sekarang juga, makanlah apel busuk yang beijatuhan di dekat pohon itu!"
Tak mengira yang; dimarahinya adalah seorang pangeran, tubuh lelaki ini gemetaran karena takut. Ia juga heran mengapa pangeran menyuruhnya memakan apel busuk, padahal ia baru saja memetik apel dengan kualitas baik. Belum sempat ia bertanya, cambuk sang pangeran kembali menggetarkan tanah di sampingnya.
"Makan apel busuk itu! Sekarang juga!" perintah pa¬ngeran.
Ketakutan, lelaki pekerja ini memakan satu buah apel busuk yang sudah beijatuhan. Tapi apa yang dilakukan sang pangeran? Dengan kudanya ia mengejar lelaki pekerja ini, menghentakkan cambuk ke arahnya dan terus-menerus menyuruh lelaki itu untuk memakan apel busuk. Dalam hatinya, lelaki pekerja ini mengutuki sang pangeran yang begitu kejam menyiksa dirinya.
Tak ingin cambuk pangeran mengenai dirinya, lelaki pekerja ini terus berlari sambil sesekali memakan apel- apel busuk di tangannya. Napasnya tersengal-sengal dan wajahnya pucat pasi. Ia kemudian berlutut di hadapan pangeran, "Ampun, Tuanku. Maafkanlah kelancanganku. Tapi hamba sudah tidak kuat lagi menerima perlakuan yang demikian."
Belum selesai ia memohon, tiba-tiba lelaki pekerja ini merasa mual dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Alangkah terkejutnya ia melihat badan si ular yang telah terpotong-potong keluar dari dalam perutnya.
"Itulah alasanku berbuat demikian kepadamu. Aku hanya ingin menyelamatkan nyawamu dari ular jahat itu," terang pangeran sambil berlalu.
"Adakalanya kita tidak mengetahui rencana Allah terhadap hidup kita. Di balik keburukan yang kita terima, bisa saja tersembunyi kasih sayang Allah."
PT. Gramedia Pustaka Utama
0 Response to " "
Post a Comment